JurnalPost.com – Indonesia dengan luas hutan 125.795.306 hektar (KLHK, 2023) wajib menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai dua agenda besar melalui kehutanan yang menjadi fokus utama, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar hutan, dan juga menciptakan model perlindungan hutan yang efektif. Pemerintah menyadari bahwa adanya kemiskinan, ketimpangan dan konflik penguasaan lahan antara lain disebabkan oleh lemahnya akses terhadap hukum dan keuangan di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah sedang mempersiapkan program perhutanan sosial yang menjamin bahwa upaya pengentasan kemiskinan pada masyarakat, khususnya di sekitar hutan, adalah dengan menciptakan keselarasan antara peningkatan kesejahteraan dan perlindungan lingkungan.
Perhutanan sosial merupakan inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memberikan akses hukum kepada masyarakat terhadap pengelolaan hutan sehingga dapat memperoleh nilai tambah dari hutan yang dikelolanya. Program ini memungkinkan masyarakat sekitar hutan untuk mengajukan permohonan hak pengelolaan kawasan hutan kepada pemerintah. Setelah persetujuan diberikan, masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan hutan dengan cara yang lebih ekologis. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi dampak negatif dari aktivitas masyarakat lokal di hutan dengan melibatkan mereka sebagai subjek dalam pengelolaan hutan guna menciptakan kesadaran akan manfaat hutan. Dari segi hukum, perhutanan sosial diatur dengan beberapa peraturan, antara lain UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penciptaan Lapangan Kerja, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Khusus Kehutanan, Perpres No. Keputusan tentang Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Hutan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hutan Sosial pada Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus. Menurut Pasal 29 A ayat (2) Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada perseorangan, kelompok petani hutan, atau koperasi.
Tujuan perhutanan sosial adalah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan dan meningkatkan jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang dapat memanfaatkan dan melindungi hutan dan lingkungannya. Dampak perhutanan sosial berdasarkan penelitian menunjukkan hasil yang positif di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan (KLHK, 2020). Secara ekonomi, pendapatan masyarakat dan lapangan kerja meningkat. Pendapatan rata-rata petani hutan rakyat mencapai Rp28.340.724 per tahun atau Rp720.000 per bulan per kapita, jauh di atas garis kemiskinan sebesar Rp45.000 per kapita per hari. Dampak sosial tersebut diwujudkan dengan perubahan perilaku masyarakat terhadap hutan, dimana rasa memiliki, keinginan untuk melindungi dan mengelola hutan meningkat, sehingga memberikan rasa nyaman dan aman dalam pengelolaan hutan. Dampak terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan tutupan lahan, jenis tanaman di dalam tanah, upaya restorasi, serta pertumbuhan bibit dan tanaman pondasi. Dari sudut pandang ekologi, ancaman kebakaran, pencurian, gangguan terhadap hewan dan perburuan liar semakin meningkat.
Perhutanan sosial di Tuban tergambar jelas melalui penerapan Izin Pemanfaatan Perhutanan Sosial (IPHPS) dan hutan riparian. IPHPS Tuban menggunakan pendekatan agroforestri dalam pemanfaatan hutan. Misalnya saja saat panen jagung, petani KUPS mendapat bantuan keuangan mikro dari Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp7.000.000 per hektar. Misalnya saja Sujiyem, salah satu petani KUPS yang mampu memanen jagung sebanyak 5 ton senilai Rp15.000.000 dan memperoleh penghasilan bersih Rp8.000.000 setiap 3 bulan atau Rp2.670.000 per bulan. Selain itu, penanaman pohon Jati juga dijadikan sebagai perekonomian. Di Kawasan Hutan Pesisir Padang Tikar, pemanfaatan hasil penangkapan ikan di hutan meningkatkan pendapatan dari Rp 2.500.000 per bulan menjadi Rp 40.000.000 per bulan. Kebijakan perhutanan sosial ini memberikan dorongan yang kuat bagi kehidupan masyarakat desa di sekitar hutan. Tidak hanya meningkatkan pendapatan rumah tangga tetapi juga menghidupkan semangat hidup di desa-desa tersebut.
Namun pelaksanaan perhutanan sosial masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah peningkatan kapasitas dan pengembangan usaha masyarakat. Hal ini menjadi tantangan karena memerlukan perubahan pola pikir dan orientasi usaha masyarakat dari swasembada dan tradisional menuju orientasi pengelolaan hutan lestari dan kegiatan usaha lestari. Memfasilitasi akses terhadap keuangan dan pasar sangat penting untuk membantu masyarakat meningkatkan upaya ekonomi mereka. Membantu kelompok masyarakat untuk mendapatkan izin perhutanan sosial sangatlah penting. Setiap izin perhutanan sosial harus didampingi minimal satu mitra agar kegiatan perekonomian masyarakat dapat berjalan lancar, termasuk peningkatan produktivitas lahan hutan, nilai tambah hasil hutan, dan pengembangan komoditas lainnya. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan bisnis dari stagnasi setelah mendapat izin perhutanan sosial.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa melalui perhutanan sosial, masyarakat dapat memperoleh akses yang setara dan seluas-luasnya terhadap pengelolaan hutan dan lahan. Dengan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan prinsip kelestarian lingkungan hidup, maka tujuan perlindungan lingkungan hidup dapat diwujudkan dan sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut dalam praktiknya diperlukan akses, peralatan dan pelatihan atau alih kelola tata kelola perhutanan sosial yang baik dan benar agar masyarakat mengetahui dan memanfaatkan kawasan perhutanan sosial dengan sebaik-baiknya. Pemberian edukasi dan pembinaan oleh pemerintah kepada masyarakat sekitar hutan penting dilakukan untuk menciptakan kelompok petani yang memiliki kesiapan, kemampuan dan keterampilan. Terakhir, yang tidak kalah penting, adalah kesiapan pemerintah untuk memfasilitasi perizinan, permodalan dan pemasaran yang baik atas hasil hutan sosial itu sendiri.
Standardisasi ini diciptakan sebagai perwujudan alat untuk mendorong peningkatan kualitas, efisiensi dan daya saing, dengan tetap melindungi kepentingan negara. Standar khusus kehutanan masyarakat harus diamanatkan dan dilaksanakan melalui kerja sama dengan para pemimpin adat setempat untuk menciptakan masyarakat yang berkembang dan bergerak menuju hutan lestari. Adanya akses hukum bagi masyarakat pengelola hutan diharapkan dapat memberikan akses kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan dalam mewujudkan masyarakat mandiri secara ekonomi melalui sektor ekonomi strategis dalam negeri.
Penulis:
Fadhillah Arinny dan Trisna Septyan Putri
(mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalusia)
Quoted From Many Source